Karena itu, Roy Suryo mengingatkan kembali kepada semua pihak untuk kembali pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) sebagai acuan. Menurut KBBI, Terstruktur merupakan verb (kata kerja) yang artinya ‘sudah dalam keadaan disusun dan diatur rapi”. Sistematis berarti teratur menurut sistemnya yang diatur baik-baik. Sedangkan Masif setidaknya memiliki 5 arti, salah satunya adalah besar-besaran.
Dalam konteks Pemilu, kata Roy Suryo, UU Nomor 7 Tahun 2017, pelanggaran TSM diatur dalam Pasal 286. Namun, pasal itu membahas pelanggaran TSM dalam konteks PiLeg. Pelanggaran terstruktur adalah kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara pemilihan secara kolektif atau secara bersama-sama. Kemudian pelanggaran sistematis dimaknai sebagai pelanggaran yang direncanakan secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi. Adapun pelanggaran masif adalah pelanggaran yang dampaknya sangat luas terhadap hasil pemilihan.
Aturan lebih rinci mengenai pelanggaran TSM dituangkan dlm Peraturan Bawaslu No 8 Tahun 2018. Laporan atas dugaan pelanggaran TSM bisa disidang Bawaslu jika disertakan bukti terjadi di sejumlah wilayah. ‘Untuk Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, pelanggaran terjadi paling sedikit 50% dari jumlah daerah provinsi di Indonesia’, demikian bunyi pasal 24 ayat (8) huruf c Perbawaslu Nomor 8 Tahun 2018.
“Ini artinya kalau hanya letterlijk dengan aturan di atas, maka TSM hanya dinilai secara kuantitatif alias tidak melihat kualitatifnya, ini yang dirasa sangat tidak tepat,” kata Roy Suryo.
Seharusnya jika secara kualitatif sudah terjadi pelanggaran secara TSM, kata Roy Suryo, maka seharusnya definisi dalam TSM ini bisa diberlakukan, tidak sekadar menggunakan batas psikologis 50% sebagaimana yang kemarin diberlakukan.